Jakarta, Propertytimes.id – Sektor properti di Asia Tenggara mampu menunjukkan ketahanan yang signifikan di tengah ketegangan perdagangan yang ditimbulkan oleh kebijakan proteksionisme Presiden AS, Donald Trump. Meski kebijakan tarif yang diberlakukan pemerintah AS berpotensi mengganggu pasar global, kawasan ini berhasil mengamankan posisi strategisnya dalam rantai pasokan dan investasi.
Seperti diketahui, sejak awal masa jabatan kedua Trump, serangkaian tarif baru telah dikenakan, termasuk tarif 10 persen pada impor dari Tiongkok dan rencana tarif 25 persen untuk baja dan aluminium. Langkah-langkah ini akhirnya memicu respon balasan dari Beijing dengan menciptakan ketidakpastian di pasar global. Namun, Asia Tenggara, dengan ketergantungan yang tinggi terhadap perdagangan luar negeri, nyatanya mampu mengatasi dampak negatif tersebut.
Menurut laporan terbaru dari Bain & Company, DBS, dan Angsana Council, volume perdagangan di Asia Tenggara mencapai 89 persen dari produk domestik bruto (PDB) kawasan ini dalam periode 2013 hingga 2023. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Tiongkok, India, dan AS, yang masing-masing mencatatkan angka 34 persen, 30 persen, dan 17 persen, sekaligus menunjukkan pentingnya perdagangan internasional bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ini.
Selama perang dagang 2018-2019, Asia Tenggara diuntungkan dari pengalihan rantai pasokan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, yang berupaya mendiversifikasi risiko dengan strategi “China plus one”. Dan, saat ini dengan pemberlakuan tarif yang lebih agresif dari AS, kawasan Asia Tenggara kembali menjadi tujuan alternatif bagi banyak perusahaan yang ingin menghindari ketergantungan pada Tiongkok.
Pada tahun 2023, investasi dari Tiongkok ke sektor manufaktur di Asia Tenggara meningkat tajam hingga mencapai 24 miliar USD. Lonjakan investasi ini berkontribusi pada peningkatan ekspor kawasan ke AS dan memperkuat posisi Asia Tenggara di tengah ketegangan hubungan antara Tiongkok dan AS. Hal ini mencerminkan pergeseran dalam dinamika ekonomi global yang menguntungkan negara-negara di Asia Tenggara.
BACA JUGA: Kemenangan Trump dan Dampaknya bagi Industri Properti Amerika Serikat
Dalam konteks sektor properti, permintaan domestik dan perdagangan intra-Asia memberikan perlindungan terhadap dampak perlindungan perdagangan AS. Menurut Knight Frank, negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina mengalami lonjakan permintaan untuk hunian kelas atas. Hal ini didorong oleh meningkatnya jumlah individu dengan kekayaan yang terus bertumbuh . Manila, misalnya, mencatatkan pertumbuhan tercepat kedua dalam harga hunian mewah di antara 44 kota yang dipantau oleh Knight Frank.
Meskipun beberapa kota seperti Kuala Lumpur dan Jakarta menghadapi tantangan dengan tingkat kekosongan kantor yang tinggi, namun biaya hunian di kawasan ini tetap rendah sehingga mendorong aktivitas pembangunan dan peningkatan kualitas di sektor ini.
Industri pariwisata juga menjadi salah satu pendorong pertumbuhan sektor properti. Permintaan yang tinggi dari wisatawan Asia terbukti membantu mengimbangi penurunan pengunjung dari Tiongkok.
Michael Glancy, Direktur pelaksana JLL untuk Thailand, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, menekankan bahwa Asia Tenggara kini menghadapi tantangan baru dalam kompetisi antara AS dan Tiongkok untuk supremasi digital sehingga menciptakan peluang bagi investor dan pengembang di sektor teknologi dan manufaktur.
Dengan semua dinamika ini, Asia Tenggara membuktikan ketahanannya di tengah ketidakpastian global dan menunjukkan bahwa kawasan ini bukan hanya sekadar tempat transit dalam rantai pasokan, tetapi juga sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan investasi yang menjanjikan. (berbagai sumber)