Propertytimes.id – Dari balik puncak Gunung Seulawah Agam, matahari mengintip perlahan. Permukaan muara yang menuju pantai Ule Lheu ter lihat sedikit tenang. Dari atas jembatan, terlihat kabut tipis sisa semalam, naik perlahan. Permukaan muara berpendarpendar menutupi sinar violet dari kejauhan. Sesekali, keindahan itu harus terpecah saat perahu-perahu bermesin nelayan melintas. Toh, pada pagi yang masih perawan itu, nadi kehidupan mulai berdenyut.
Disamping sebagai obyek wisata, di Ulee Lhue terdapat dermaga atau pelabuhan kapal yang menuju Pulau Weh (Sabang) dan gugusan pulau-pulau kecil di sekitar kota Banda Aceh. Konon, pada awal tahun 1900-an atau jaman colonial Belanda, Pelabuhan Ulee Lheue – yang oleh Belanda ditulis Oleh-leh- menjadi salah satu kawasan strategis karena diijadikan sebagai lokasi pendaratan pasukan Belanda. Pelabuhan ini sekaligus juga tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura selain juga kapal-kapal Belanda. Saat itu, di sekitar pelabuhan, Belanda membangun kamp militer, pertokoan para pedagang Cina juga ada sekitar Ulee Lheue. Tak heran jika pelabuhan Ulee Lheue dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan yang cukup sibuk kala itu.
Di lokasi yang sama, tak jauh dari pelabuhan Ulee Lheue, terdapat sebuah bukti keajaiban dari peristiwa tsunami Aceh, yaitu masjid yang hingga kini masih kokoh berdiri di pinggiran pantai Ulee Lheue yang bernama Masjid Baiturrahim. Konon, ketika tsunami melanda, lantunan azan terdengar dari masjid ini. Bahkan, menurut sejumlah masyarakat masjid ini sama sekali tidak tersentuh oleh air gelombang tsunami karena gelombang tersebut terbelah dua.
Di kelilingi destinasi wisata
Pantai Ule Lheu terbilang strategis, sebab di kelilingi beberapa situs wisata tsunami, sebut saja Museum tsunami, PLTD Apung dan juga kapal di atas rumah. Museum tsunami adalah sebuah museum di Banda Aceh yang dirancang sebagai monumen simbolis untuk bencana gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004 sekaligus pusat pendidikan dan tempat perlindungan darurat andai tsunami terjadi lagi. Museum Tsunami Aceh dirancang oleh arsitek asal Indonesia, Ridwan Kamil, yang sekarang menjabat sebagai Walikota Bandung. Museum ini merupakan sebuah struktur empat lantai dengan luas 2.500 m² yang dinding lengkungnya ditutupi relief geometris.
Ketika masuk ke dalam museum, fase pertama yang harus dilalui pengunjung adalah lorong sempit dan gelap di antara dua dinding yang dialiri air dengan tinggi menjulang. Desain ini memiliki filosofi untuk menciptakan kembali suasana dan kepanikan saat tsunami. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari Saman, sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh. Dari atas, atapnya membentuk gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami. Yang membuat haru, bangunan ini juga didesain untuk menghormati para korban tsunami. Karena itu beberapa nama mereka tercantum di dinding salah satu ruang di dalam museum.
Berbeda dengan Museum tsunami, destinasi PLTD apung adalah kapal generator listrik milik PLN di Banda Aceh, yang saat ini telah dijadikan tempat wisata, yang dikenal dengan nama “Kapal Apung”. Kapal ini memiliki luas sekitar 1.900 Kilo Meter Persegi, dengan panjang mencapai 63 Meter. Kapal Apung ini memang sudah berpindah fungsi dari Pembangkit Listrik menjadi Objek Wisata Aceh. Mesin pembangkit listrik yang kekuatan dayanya mencapai 10,5 Megawatt, dahulunya berada didalam kapal, tetapi sekarang sudah dipindahkan pada Tahun 2010. Saat ini, Kapal Apung tersebut berada di bawah pengelolaan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kapal berbobot 2.600 ton ini sebelumnya berada di laut yang jauhnya sekitar 5 Kilometer dari tempat berdirinya sekarang (Punge Blang Cut, Kota Banda Aceh). Pada tahun 2004, kapal ini terseret 4-5 km ke daratan akibat gempa bumi dan gelombang tsunami setinggi 9 meter. Kapal ini diberikan kepada pemerintah Aceh saat konfl ik antara pemerintah dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) berlangsung. Pada tahun 2012 – 2013, kapal direnovasi. Para pengunjung bisa naik ke atas kapal dan saat ini area sekitarnya sudah dilengkapi 2 menara, sebuah monumen, jalan setapak, dan air mancur. Kiki