Jakarta, Propertytimes.id – Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (DPP REI) menyatakan keprihatinannya atas aksi dan tekanan yang mengganggu iklim investasi properti di Indonesia di tengah pelemahan daya beli masyarakat dan situasi ekonomi yang kurang kondusif. Sebab, kondisi ini dikhawatirkan dapat menurunkan minat investasi dan memperburuk perekonomian nasional.
Kepala Badan Advokasi dan Perlindungan Anggota DPP REI, Adri Istambul Lingga Gayo, menegaskan bahwa masih terjadi tekanan dari kelompok masyarakat yang memanfaatkan isu politis melalui demonstrasi atau pengerahan massa ke lokasi proyek pengembang. Salah satu modus yang kerap terjadi adalah klaim kepemilikan lahan yang telah dikuasai dan dikembangkan oleh pengembang.
“Sebagai asosiasi pengembang tertua dan terbesar di Indonesia, DPP REI mengajak seluruh pihak untuk menghormati supremasi hukum dan tidak menciptakan preseden buruk yang dapat merugikan iklim investasi di sektor properti nasional,” tegas Adri dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (8/8) lalu.
Salah satu kasus terkini yang dinilai merugikan bisnis properti adalah pengerahan massa ke lahan milik PT Metropolitan Kentjana Tbk (MKPI) di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Aksi ini tidak hanya merusak kredibilitas pengembang, tetapi juga mengganggu stabilitas industri properti.
DPP REI telah meminta klarifikasi dan melakukan investigasi kepada manajemen MKPI terkait insiden pada 7 Agustus 2025. Dari pertemuan tersebut, terungkap bahwa perusahaan telah memenuhi semua kewajiban hukum, termasuk kepemilikan sah atas tanah Eigendom Verponding No. 6431 yang telah dikembangkan sejak 1973. “Kami menyampaikan dukungan penuh dan akan terus mengawal seluruh anggota yang taat secara hukum dan moral,” kata Adri.
Dalam kasus ini, PT Metropolitan Kentjana Tbk dinilai telah membuktikan kepatuhannya kepada aturan-aturan hukum yang berlaku, dan memenuhi semua kewajiban kepada negara dan masyarakat termasuk membangun fasos/fasum, memberi kontribusi pajak yang signifikan, serta mematuhi kode etik Sapta Brata REI.
Antara lain, MKPI telah memenuhi semua legalitas kepemilikan tanah di kawasan Pondok Indah tersebut. Berdasarkan penelusuran historis dan dokumen hukum, tanah yang dimaksud telah melalui proses nasionalisasi berdasarkan UU No. 1 Tahun 1958 dan SK Mendagri No. 198 Tahun 1961. PT Metropolitan Kentjana Tbk telah memperoleh hak atas tanah tersebut secara sah melalui kerja sama dengan Pemda DKI Jakarta dan Panitia Sembilan yang melibatkan unsur pemerintah, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sertifikat resmi telah diterbitkan dan hingga saat ini tanah dikuasai secara legal oleh perusahaan.
Selain itu, status tanah tersebut telah memiliki Keputusan hukum yang berkekuatan tetap (inkracht). Berulang kali gugatan dari pihak-pihak yang mengaku sebagai ahli waris telah diproses melalui jalur hukum, termasuk di Pengadilan Negeri, PTUN, hingga Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali (PK), dan semuanya dimenangkan oleh PT Metropolitan Kentjana Tbk. Dengan begitu, kata Adri, tidak ada lagi proses hukum yang terbuka terkait sengketa tanah tersebut.
“Atas dasar itu, REI berkewajiban melakukan pembelaan kepada anggota kami ini. Kami berharap tidak ada lagi upaya pengerahan massa yang merugikan masyarakat dan menyebabkan banyak tamu termasuk orang asing yang sedang berolahraga di lapangan golf ketakutan. Jangan terulang lagi agar tidak menjadi preseden buruk bagi pengembang-pengembang lainnya. Kalau ada dasar legal yang kuat, silahkan gunakan jalur hukum,” tegasnya.
Dirinya mengingatkan bahwa industri properti memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional, termasuk penyerapan tenaga kerja dan penggerak sektor riil. Gangguan terhadap iklim investasi properti berpotensi merusak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sementara itu, General Manager Legal Department PT Metropolitan Kentjana Tbk, Hery Sulistyono menjelaskan aksi massa pada 6 Agustus 2025 dapat diduga dan dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum, pemaksaan kehendak, dan main hakim sendiri. Hal itu karena telah ada putusan-putusan yang mempunyai kekuatan hukum. Semuanya dimenangkan oleh perusahaan pengembang tersebut, serta dikuatkan dengan adanya SP3 dari Polda Metro Jaya dan surat dari Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung.
“Maka demi kepastian hukum, sudah seharusnya PT Metropolitan Kentjana Tbk mendapat perlindungan hukum dari pemerintah dan aparat penegak hukum lainnya. Selain itu, semua pihak tanpa terkecuali wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum,” ujarnya.
Dalam keterangannya, PT Metropolitan Kentjana Tbk mengungkapkan bahwa objek sengketa adalah tanah eigendom verponding. Sejak berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1958, maka seluruh tanah eigendom verponding di Indonesia otomatis menjadi tanah negara, termasuk dalam hal ini Eigendom Verponding No. 6431 sebagaimana ditegaskan pada SK Menteri Muda Agraria No.98/Ka tanggal 13 Januari 1960.
Di dalam SK Menteri Agraria No.198/Ka tanggal 4 Mei 1961, ditegaskan bahwa pemerintah bersedia memberikan ganti rugi kepada bekas pemilik Eigendom Verponding 6431 seluas ± 97.400 m2, namun dengan syarat;
(a) Tidak termasuk bagian yang diduduki oleh rakyat/pihak ketiga (pemilik harus menguasai fisik); (b) Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal SK, harus dilakukan pengukuran; dan (c) 3 (tiga) bulan setelahnya harus diajukan permohonan. Jika syarat-syarat tidak dipenuhi, maka SK ini dinyatakan batal.
“Seandainya syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka seharusnya pada tanggal 4 Februari 1962 ahli waris telah mendapat hak dari pemerintah (namun syarat ini tidak dipenuhi oleh ahli waris). Hal inilah yang terus dikaitkan kepada kami,” kata Hery.