Jakarta, Propertytimes.id – Di tengah perlambatan ekonomi dan tekanan inflasi yang mulai mereda, pasar properti residensial Indonesia belum menunjukkan geliat yang signifikan. Bukan hanya karena daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya, tapi juga karena pasokan rumah baru yang kian tersendat. Laporan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) Bank Indonesia untuk kuartal I-2025 mengungkap salah satu tantangan utama sektor ini: hambatan serius di sisi suplai.
Pengembang properti mengeluhkan berbagai kendala dalam pembangunan proyek baru, mulai dari proses perizinan, hingga kenaikan harga material bangunan. Dalam survei itu, lebih dari separuh responden menyatakan bahwa faktor perizinan (14,79%), suku bunga KPR (15,30%), serta kenaikan harga bahan bangunan (19,87 %) masih menjadi penghambat pengembangan dan penjualan properti residensial primer.
BACA JUGA: Bank Indonesia Tetap Pertahankan BI Rate 5,75%
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas pengembang, yakni 77,28 persen, masih mengandalkan dana internal dalam membangun proyek residensial. Hanya sebagian kecil yang memanfaatkan pinjaman bank atau pembayaran bertahap dari konsumen. Kondisi ini memperlihatkan adanya kehati-hatian yang tinggi di kalangan pelaku industri—mereka enggan mengambil risiko besar di tengah ketidakpastian pasar.
Keterbatasan pasokan ini terlihat dalam lambannya pertumbuhan harga rumah. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) hanya naik 1,07 persen secara tahunan, melambat dibanding kuartal sebelumnya. Sementara itu, konsumen tetap bergantung pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk pembelian, dengan proporsi mencapai hampir 70,68 persen.
Kondisi ini menimbulkan ironi: di satu sisi kebutuhan hunian terus meningkat, terutama untuk segmen rumah pertama; di sisi lain, pembangunan terhambat oleh regulasi dan biaya produksi yang melonjak. Tanpa intervensi kebijakan yang efektif untuk mendorong pembangunan—baik dari sisi insentif fiskal, deregulasi, maupun kemudahan akses kredit—pasar properti residensial dikhawatirkan akan stagnan lebih lama.