Jakarta, Propertytimes.id – Ombudsman Republik Indonesia dikabarkan telah menerima 46 laporan terkait konflik penghunian dan tata kelola apartemen atau rumah susun (rusun) hingga tahun 2019. Plt Kepala Keasistenan Utama IV Ombudsman Dahlena, dalam konferensi pers daring Rabu (5/8/2020), menuturkan akan memilah laporan tersebut menjadi beberapa persoalan.
Diantaranya ada Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang tidak seimbang, tidak adanya standarisasi tarif iuran pengelolaan apartemen (IPL), dan monopoli bidang atau benda milik bersama. Adapun ditemukannya konflik kepengurusan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) dan terhambatnya proses sertifikasi atau hak atas kepemilikan satu unit. Selain itu Ombudsman juga menemukan adanya kendala syarat administratif dan PPJB yang merugikan pemilik rusun dalam PPPSRS.
Untuk itu pihak Ombudsman telah meminta kepada Kementerian PUPR agar segera menerbitkan regulasi tentang pembinaan rumah susun serta Peraturan Menteri yang terkait tata cara penghitungan besaran biaya pengelolaan. Karena tata cara pembiayaan perhitungan tersebut dinilai tidak memiliki standarisasi biaya, akibatnya terjadi keberagaman biaya pengelolaan antar rusun. Sementara Pemerintah Daerah sendiri tidak memiliki pedoman atas masalah ini sehingga tidak bisa mengatasinya.
“Ini merupakan mandat dari Pasal 57 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,” ujar Dahlena.
Ia juga mengupayakan agar setiap Pemerintah Daerah mengeluarkan peraturan tentang norma standar dalam penyusunan AD ART PPPSRS yang memuat asas transparansi, partisipasi, serta kewajiban mengundang unsur pemerintah dalam rapat umum. Kemudian mengatur mengenai penanganan pengaduan tentang sengketa pengurusan rusun dengan memiliki fungsi identifikasi, telaah masalah, dan mediasi. SA