Bali, Propertytimes.id – Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) diketahui tengah mengkaji penerapan moratorium pembangunan di Bali. Regulasi baru ini dimaksudkan untuk menanggulangi dampak pariwisata yang berlebihan dengan cara menghentikan atau membatasi kegiatan pembangunan tertentu di pulau Bali.
Menteri Pariwisata Sandiaga Uno sebelumnya menyampaikan kepada publik bahwa undang-undang tersebut akan diterapkan pada paruh pertama Oktober 2024. “Sudah kami ajukan, menunggu jadwal dari pimpinan, mudah-mudahan dilakukan segera. (Target diterapkan), awal Oktober 2024,” kata Sandiaga saat meninjau acara Bali Internasional Airshow di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Kabupaten Badung, Bali, Sabtu(21/9/2024) lalu.
Sandiaga menjelaskan kebijakan ini diperlukan, karena lahan pertanian di Bali semakin terdesak oleh pembangunan. Selain itu, kondisi lalu lintas juga semakin padat, seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan ke Bali.
Seperti diketahui, Bali diproyeksi kehilangan sekitar 2.000 hektar lahan utama untuk menanam padi per tahun akibat komersialisasi. Hal ini terjadi di samping konversi lahan pertanian non-sawah, lanskap pesisir, dan tanah adat desa yang ada menjadi real estat komersial yang siap untuk pariwisata.
Begitupun, hingga saat ini Kemenparekraf sendiri justru belum menunjukkan draf akhir dari moratorium untuk dikaji publik, alih-alih untuk memberlakukan kebijakan moratorium tersebut.
CEO Leads Property Service Indonesia, Hendra Hartono menuturkan moratorium di Bali sejatinya diajukan pemerintah dengan tujuan untuk mengendalikan pembangunan di daerah Metropolitan Sarabagita (Denpasar, Kab Badung, Kab Gianyar, Kab Tabanan) di Selatan Bali. Hal ini dikarenakan kondisi pembangunan di sektor akomodasi seperti hotel, vila dan tempat hiburan yang sudah terlalu marak.
Menurut Hendra, sebelumnya Pemerintah Daerah Provinsi Bali sudah pernah mengeluarkan moratorium pembangunan hotel di Bali pada tahun 2010 lalu. Namun, akhirnya dicabut pada tahun 2016. Meski demikian, pembangunan hotel di kurun waktu 2010 – 2016 tersebut ternyata masih marak dan tingkat hunian relatif stabil di angka 60-65% secara keseluruhan. Pencabutan moratorium tersebut disebabkan oleh adanya desakan dari para pengusaha hotel.
Semenjak dicabut, pembangunan hotel justru lebih marak lagi sehingga menyebabkan berkurangnya lahan pertanian, di samping persaingan yang semakin tidak terkendali.
Kondisi ini mendesak pemerintah untuk memberlakukan kembali moratorium di sektor hotel (dan villa) akhir- akhir ini, khususnya terhadap Bali bagian Selatan, yaitu Badung.
“Bila monitoring di bawah moratorium yang akan diberlakukan ini cukup ketat sehingga berhasil menekan pertumbuhan pengembangan hotel baru, kemungkinan besar tingkat hunian akan meningkat. Yang sebelumnya stabil di 60-65%, diperkirakan bisa mencapai 70-75% dimana angka ini cukup tinggi. Jadi efek dari moratorium lebih bersifat positif ketimbang negatif,” jelas Hendra kepada Propertytimes.id.
Menurutnya, pembangunan hotel dan villa ini juga bisa menjaga keseimbangan antara supply dan demand sehingga meningkatkan performa dan kompetisi dari hotel dan vila yang sudah ada, terutama bagi hotel dan vila yang sudah berusia lebih lama akan lebih termotivasi untuk melakukan peremajaan.
“Dengan seimbangnya supply dan demand, maka tingkat okupansi dan tarif rata-rata kamar dari hotel-hotel eksisting juga akan cenderung meningkat,” pungkasnya.
Di sisi lain, sebut Hendra, moratorium pembangunan hotel di Selatan Bali juga akan membuka peluang untuk pengembangan sektor akomodasi di wilayah-wilayah Bali lainnya seperti Bali Utara dan Bali Timur. Hal ini dikarenakan calon investor yang akan mencari lokasi potensial untuk dikembangkan di wilayah-wilayah tersebut.
Pembatasan ini juga diharapkan bisa menarik investor untuk melakukan investasi di sektor selain sektor property, seperti sektor industri kreatif, pariwisata berbasis komunitas (community based tourism), dan sektor pertanian sehingga terciptanya diversifikasi ekonomi yang lebih luas di Bali.
Dirinya menambahkan, meski hasilnya positif bukan berati kebijakan ini tidak berdampak, adapun efek yang mungkin mengkhawatirkan dari adanya moratorium pembangunan hotel dan villa di Selatan Bali, yaitu kemungkinan menurunnya nilai investasi asing di Bali. Hal ini dikarenakan sektor yang menjadi penyumbang utama investasi di Bali adalah sektor hotel, restoran, perumahan dan jasa lainnya yang mencapai 87% dari total investasi di Bali pada tahun 2022 (Menurut Kementerian Investasi Indonesia). “Kondisi ini tentu akan berdampak pada kondisi ekonomi di Bali,” jelasnya.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Bali melalui Penjabat Gubernur (PJ) Bali, Sang Made Mahendra Jaya menegaskan moratorium merupakan langkah untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah di Bali.
“Sebab, beberapa waktu belakangan, lahan sawah di Bali kian menyusut karena berubah fungsi menjadi bangunan vila. (Moratorium ini) bukan diperketat (perizinan pembangunan vila) tapi ditata kembali perizinannya,” jelasnya saat menghadiri upacara pengerukan rencana pembangunan Bali Urban Subway atau LRT di Central Park, Kuta, Badung, Bali, pada, Rabu(4/9/2024) lalu.
Terkait usulan ini, salah satu anggota DPRD Tabanan, I Gusti Nyoman Omardani, menegaskan bahwa kebijakan moratorium tidak semestinya diberlakukan di Kabupaten Tabanan. Menurut Omardani, Tabanan masih sangat bergantung pada sektor pariwisata untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga pembangunan akomodasi wisata sangat diperlukan guna mengoptimalkan potensi pariwisata yang ada.