Jakarta, Propertytimes.id – Nilai transaksi real estat penghasil pendapatan (income-generating real estate) di kawasan Asia Pasifik (APAC) anjlok sebesar 18 persen secara tahunan menjadi US$32,3 miliar pada kuartal I-2025. Laporan terbaru dari MSCI menunjukkan bahwa investor cenderung menahan diri di tengah ketidakpastian global yang dipicu oleh kebijakan perdagangan Amerika Serikat.
“Untuk sebagian besar kawasan Asia Pasifik, pasar properti komersial telah mulai pulih dengan cepat sejak pertengahan tahun lalu. Namun, momentum menjelang 2025 terganggu oleh prospek keruntuhan perdagangan global.,” kata MSCI dalam laporan yang dikutip dari Mingtiandi.com, Rabu (29/5).
Penurunan ini terjadi serentak di sebagian besar negara APAC, dimana Jepang dan Tiongkok mencatatkan penurunan signifikan masing-masing sebesar 25 persen (menjadi US$11 miliar) dan 16 persen (menjadi US$8,1 miliar). Di Korea Selatan, transaksi turun 21 persen menjadi US$4,1 miliar akibat melemahnya minat terhadap sektor perkantoran dan industri, yang dinilai paling rentan terhadap gejolak tarif.
Yang menarik, India dan Australia menjadi pengecualian. Nilai transaksi di India naik tipis 1 persen menjadi US$400 juta, sementara Australia melonjak 65 persen ke US$5,2 miliar. Dalam laporan yang dipimpin oleh Kepala Riset Real Estat Asia MSCI, Benjamin Chow, disebutkan bahwa dampak tarif ekspor AS sangat terasa di negara-negara seperti Vietnam, di mana ekspor ke AS mencakup lebih dari 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
BACA JUGA: Asia Pasifik Catatkan Investasi Properti Komersial Sebesar US$131 Miliar Pada Tahun 2024
Secara sektoral, investasi di sektor industri mengalami penurunan paling tajam, jatuh 37 persen menjadi US$5,7 miliar. Sektor gudang (sheds) menjadi yang paling terpukul. Sebaliknya, sektor hunian—termasuk hotel, apartemen, dan hunian lansia—justru mengalami peningkatan volume transaksi dibanding tahun sebelumnya.
“Bayang-bayang ketidakpastian atas perdagangan global tampaknya justru menghidupkan kembali minat terhadap sektor hunian, karena faktor pendorong permintaan di sektor ini cenderung tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi ekonomi global,” ujar MSCI.
Di tengah lesunya pasar, beberapa transaksi besar tetap terjadi. Yang terbesar adalah akuisisi mal Tokyu Plaza Ginza di Tokyo oleh Gaw Capital Partners (Hong Kong) dan Patience Capital Group (Singapura) senilai US$1 miliar. Gaw akan mengambil alih pengelolaan properti seluas 50.093 meter persegi itu dan berencana menyulapnya menjadi destinasi ritel yang lebih dinamis, sementara Patience akan membantu meremajakan komposisi penyewa.
Di sektor industri, Sharp menjual pabrik panel LCD di Osaka Raya kepada SoftBank senilai US$663,7 juta. SoftBank dikabarkan akan mengonversi properti tersebut menjadi pusat data kecerdasan buatan (AI). Adapun, transaksi hotel terbesar terjadi di Jepang, ketika SC Capital Partners melalui Japan Hotel REIT mengakuisisi hotel Hilton Fukuoka Sea Hawk dari Mizuho Leasing sebesar US$414,6 juta. Sebelumnya, Mizuho telah membeli properti dengan 1.053 kamar itu dari GIC, dana kekayaan negara Singapura, pada September 2024.