Jakarta, Propertytimes.id – Banyak cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk memiliki rumah, salah satunya melalui pembiayaan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). FLPP sendiri merupakan subsidi pembiayaan dengan menempatkan dana murah di perbankan oleh pemerintah sehingga bunga KPR yang diterima menjadi rendah. Dengan adanya skim pembiayaan tersebut, masyarakat yang masuk dalam kategori MBR bisa membeli rumah subsidi ke developer dan mengajukan KPR kategori rumah subsidi ke bank.
Ironinya, alokasi anggaran yang menjadi andalan masyarakat lapis bawah untuk memiliki rumah ini terus menurun. Pada tahun 2019, alokasi anggaran pembangunan KPR subsidi dialokasikan untuk 160 ribu unit rumah subsidi, sementara pada 2020 menurun menjadi hanya untuk 102 ribu unit rumah dengan anggaran sebesar Rp11 triliun. Belakangan, Presiden Jokowi berjanji akan menambah alokasi anggaran KPR subsidi tersebut meski tak merinci berapa besar tambahan yang dilakukan.
Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida, menuturkan, ada beberapa hal yang saat ini menjadi catatan pihaknya terkait penyelenggaraan perumahan rakyat, pertama, meski kuota FLPP sudah ditambah, namun perlu dipersiapkan dan dianggarkan agar ada kepastian terkait anggaran tahun 2021 dan selanjutnya. Terlebih, kapasitas pembangunan pengembang saat ini sudah mencapai 250 hingga 300 ribu unit per tahun.
Catatan kedua, sebut Totok, harga baru yang harusnya secara otomatis sudah terealisasi akan tetapi di lapangan selalu masih ada kendala. “Adapun, yang menjadi masukan ketiga, program Rumah ASN TNI polri harus di ikuti PPH 1% dan PPN 0% supaya tujuan pemberian kemudahan memiliki rumah bagi TNI Polri dan ASN dapat tercapai,” ungkap Totok, saat menjadi narasumber dalam acara diskusi yang digelar Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) bertemakan “Quo Vadis Subsidi Perumahan Rakyat”, di Kawasan Adityawarman, Jakarta Selatan, Selasa (17/3).
Totok menjelaskan, pada dasarnya pengembang di Indonesia, khususnya rumah subsidi sudah cukup kreatif saat ini. Sehingga sekalipun tanpa FLPP, mereka tetap bisa membangun rumah demi tercapainya program sejuta rumah yang dicanangkan Pemerintah. “Karena itu, ketika banyak yang menanyakan bagaimana jika ada wacana jika sebaiknya FLPP dihapus, kita justru tidak mempermasalahkan, toh selama ini banyak pengembang yang tetap bisa jalan tanpa FLPP. Kita bisa kok,” jelas Totok.
Senada dengan Totok, Ketua Umum DPP Apersi, Junaidi Abdillah mengatakan, jika dapat ditamsilkan, untuk sektor perumahan rakyat saat ini situasinya sedang berduka. Menurut Junaedi, komitmen Pemerintah pada dasarnya sangat baik, tapi ketika turun ke bawah, apa yang dilakukan justru tidak lagi menunjang kebijakan Presiden. “Sebagai contoh, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan statement mengenai penambahan anggaran FLPP, namun hal ini justru tidak disambut di Kementerian Perumahan Rakyat,” sebut Junaidi pesimis.
Dirinya menjelaskan, di tengah situasi ekonomi yang belum membaik, industri perumahan saat ini menjadi salah satu sektor yang masih bisa bertahan bahkan dapat membantu industri lainnya. “Namun, kalau memang tidak lagi adanya dukungan dari pihak terkait, lebih baik subsidi dibubarkan. Itu lebih baik. Kalau dibubarkan tentu harus dievaluasi karena adanya ketidakmampuan. Mengapa terkait hal ini kami cukup konsen, karena hampir 100 persen angggota APERSI merupakan pengembang MBR,” pungkas Junaidi. Kiki