Jakarta, Propertytimes,id – Permintaan akumulatif untuk kondominium di Jakarta sepanjang kuartal III-2024 masih dalam kondisi stabil di angka 259.364 unit, tanpa adanya proyek baru yang diluncurkan. Kondisi ini dikarenakan pengembang lebih memilih untuk menyelesaikan proyek eksisting dibanding mengambil risiko dengan proyek baru.
Konsultan property Leads Property dalam laporannya Market Insight Q3 2024 menyampaikan, ada sejumlah faktor yang memengaruhi pasokan dan harga kondominium di Jakarta, yaitu ketidakpastian permintaan serta ketersediaan stok yang belum terjual di pasar sehingga membuat para pengembang lebih berhati-hati dalam mempersiapkan pengembangan proyek baru.
Menurut Leads, permintaan akumulatif mengalami peningkatan sebesar 0,1% QoQ atau mencapai 214.874 unit. Begitupun, insentif PPN yang diberikan pemerintah ternyata belum mampu mendorong calon pembeli untuk berinvestasi di kondominium.
“Permintaan triwulanan pada periode ini tercatat sebanyak 182 unit. Insentif PPN yang muncul sebelumnya tampaknya tidak mendorong calon pembeli untuk membeli kondominium. Sebagai responnya, pemerintah melanjutkan insentif PPN hingga Desember tahun ini untuk mendongkrak pasar kondominium,” sebut Associate Director Leads Property, Martin Samuel Hutapea dalam keterangannya, Senin (28/10).
Menurut Martin, tingkat penjualan tetap stabil di 82,8% akibat perlambatan permintaan dan tidak adanya pasokan baru. Penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia juga belum berdampak signifikan pada pasar kondominium kecuali untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPA). “Pengembang mungkin perlu meningkatkan upaya pemasaran mereka dan menawarkan gimik tambahan untuk menarik lebih banyak pembeli potensial, meskipun dengan adanya insentif PPN,” pungkasnya.
Leads mencatat, harga jual kondominium di Jakarta CBD dan prime area masing-masing naik tipis sebesar 1,0% dan 0,3%, yakni sebesar Rp57,2 juta dan Rp47,5 juta per m2. Perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa proyek yang hampir selesai seiring dengan progres pembangunannya. Namun, harga akan relatif stabil seiring dengan perlambatan pasar.
Selainitu, mengingat persaingan pasar dan ketidakpastian kondisi perekonomian yang membayangi pasar residensial, Leads melihat jika ke depannya para pengembang masih memilih sikap wait and see.
“Di tengah kondisi tersebut, terdapat kekhawatiran mengenai kenaikan PPN serta pengenaan PPN atas service charge. Selain itu, menurut beberapa pemberitaan, kelas menengah Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh rendahnya daya beli. Oleh karena itu, faktor-faktor ini dapat berdampak lebih jauh pada pasar kondominium dan menyebabkan lesunya permintaan, terutama pada kelas menengah,” ujar Martin.
Dirinya menambahkan, pembeli mungkin memerlukan perubahan persepsi terhadap kehidupan di kota dengan kepadatan tinggi untuk merangsang permintaan hunian vertikal. “Penawaran harga dan paket yang menarik dari pengembang tetap diperlukan. Di sisi lain, pembeli khususnya kelas menengah, perlu mempertimbangkan hunian berbasis T.O.D karena relevan dengan tingkat harga serta mengurangi pemakaian kendaraan,” jelasnya