Jakarta, Propertytimes.id – Riset terbaru yang dirilis Expo City Dubai mengungkapkan, bahwa dilema yang tengah dihadapi para pemimpin kota di seluruh dunia saat ini adalah antara memenuhi kebutuhan layanan dasar masyarakat sekaligus berinvestasi dalam ketahanan jangka panjang untuk menghadapi urbanisasi yang pesat.
Dalam laporan bertajuk 2025 Urban Readiness Report, yang disusun bersama lembaga riset YouGov dengan melibatkan lebih dari 1.000 pemimpin kota secara global tersebut menunjukkan bahwa meski para pemimpin memahami pentingnya kedua hal tersebut, sekitar tiga perempat di antaranya mengaku masih terhambat oleh keterbatasan pendanaan dan kesenjangan tata kelola.
Karena itu, temuan ini akan menjadi dasar pembahasan utama dalam 2025 Asia Pacific Cities Summit (2025APCS) & Mayors’ Forum, yang digelar pada 27–29 Oktober mendatangan di Expo City Dubai. Forum ini berada di bawah patronase Yang Mulia Sheikh Hamdan bin Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Putra Mahkota Dubai sekaligus Wakil Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Uni Emirat Arab, serta Ketua Dewan Eksekutif Dubai.
Executive Director Global Initiatives and Advisory Expo City Dubai, Nadia Verjee menjelaskan bahwa pertumbuhan populasi yang cepat membuat kota semakin rentan terhadap tekanan sosial dan lingkungan, mulai dari infrastruktur yang tidak memadai hingga krisis kesehatan publik.
“Para pemimpin kota kini dihadapkan pada keterbatasan dana untuk berbagai prioritas penting, sehingga sulit memenuhi kebutuhan dasar sekaligus berinvestasi pada solusi jangka panjang untuk mengatasi guncangan ekonomi dan lingkungan,” ujar Nadia dalam keterangannya kepada Propertytimes.id, Senin (6/10).
BACA JUGA: KOLOM | Bagaimana Perempuan Mendefinisikan Ulang Kota Tempat Kita Tinggal
Dirinya menambahkan, bahwa temuan tersebut menjadi alasan utama diselenggarakannya 2025 APCS, yang bertujuan mempertemukan para pemimpin kota untuk berbagi ide, mengembangkan model terbaru, dan berkolaborasi mencari solusi atas berbagai tantangan perkotaan.
Laporan itu juga menunjukkan ketegangan antara kebutuhan membangun ketahanan iklim dan kewajiban menyediakan layanan dasar. Ancaman lingkungan seperti gelombang panas perkotaan, banjir, dan kebakaran hutan menjadi isu yang membutuhkan penanganan mendesak dalam lima tahun ke depan.
Namun, tantangan itu juga bersamaan dengan persoalan layanan inti yang memengaruhi kehidupan warga, seperti mobilitas perkotaan, sistem kesehatan, perumahan terjangkau, serta infrastruktur untuk menopang laju urbanisasi.
Yang menarik, sebanyak 72 persen pemimpin kota di Indonesia menyatakan kekurangan dana menjadi hambatan dalam membangun ketahanan jangka panjang. Akibatnya, banyak pemerintah daerah masih berfokus pada penyediaan layanan dasar dan utilitas publik. Para pemimpin kota menilai, kemitraan antara sektor publik dan swasta dapat mempercepat pembangunan infrastruktur dan layanan, terutama di bidang kesehatan.
Kepemimpinan Kota dan Pembangunan Ekonomi
Tak hanya itu, ketimpangan ekonomi disebut sebagai hambatan terbesar dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif. Sekitar sepertiga pemimpin kota menilai perluasan kesempatan ekonomi dan kewirausahaan bagi generasi muda menjadi prioritas utama dalam menciptakan kota yang siap menghadapi masa depan.
Di tengah banyaknya prioritas, komunikasi yang jelas menjadi alat penting dalam tata kelola. Sebanyak 64 persen pemimpin kota di Indonesia menilai pemerintahannya mampu berkomunikasi dengan efektif. Partisipasi publik yang aktif dalam kebijakan dianggap mampu memperkuat kepercayaan dan kohesi sosial, yang menjadi fondasi ketahanan perkotaan.
Pendekatan berpusat pada manusia semakin mendapat perhatian. Sebanyak 75 persen pemimpin kota di Indonesia memprioritaskan kesejahteraan, keselamatan, dan inklusi, lebih tinggi dari rata-rata global sebesar 71 persen. Namun, baru dua dari lima pemimpin kota yang menerapkan prinsip ini secara menyeluruh dalam perencanaan, menunjukkan penerapan masih terbatas pada proyek tertentu.
Dalam hal transformasi digital, laporan tersebut juga menunjukkan kesenjangan yang besar. Hanya sebagian kecil kota yang telah mencapai tahap “kognitif”, yaitu tahap di mana sistem prediktif dan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI) sudah diterapkan. Di negara maju seperti Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat, hanya 1 persen pemimpin kota yang mengaku telah mencapai tahap ini, dengan kendala utama berupa koordinasi antarinstansi dan keterbatasan anggaran inovasi.
Sebaliknya, di India, 47 persen kota telah menggunakan sistem prediktif dan teknologi digital twin untuk mensimulasikan dampak pembangunan terhadap kemacetan, polusi, dan konsumsi energi. Sementara di negara berkembang seperti UEA, Arab Saudi, Malaysia, dan Filipina, satu dari dua pemimpin kota menyatakan daerahnya tengah beralih dari tahap “smart” ke “connected”, dengan penggunaan data waktu nyata (real-time data) dan partisipasi warga melalui platform digital. Adapun, di Indonesia, hanya 10 persen pemimpin kota yang melaporkan kemajuan serupa.
Sebagai kota yang dibangun di jantung koridor pertumbuhan Dubai, Expo City Dubai dirancang sebagai cetak biru pengembangan kota berkelanjutan. Berlandaskan keyakinan bahwa kolaborasi dapat mempercepat kemajuan berkelanjutan, Expo City akan memanfaatkan hasil survei ini untuk mendorong aksi nyata dalam 2025APCS, meneruskan perannya sebagai penggerak dan fasilitator seperti saat menjadi tuan rumah Expo 2020 Dubai dan COP28.