Jakarta, propertytimes.id – Selain menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia, kepergian Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie untuk selama-lamanya pada pertengahan September lalu ternyata turut menyita perhatian banyak masyarakat terhadap dua putra Almarhum yaitu Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal habibie. Selain kecerdasan, keduanya juga diketahui mewarisi jiwa entrepreneur sang ayah. Tak heran, baik Ilham maupun Thareq dipercaya untuk mengelola beberapa perusahaan bisnis milik keluarga di bawah bendera Ilthabi Rekatama group. Perusahaan ini pun terus membesar dan bersinar.
Pada tahun 2014, Keluarga besar Alm BJ Habibie mulai terjun ke bisnis properti untuk mengembangkan superblok terbesar di Kota Batam bertajuk Meisterstadt. Proyek kolaborasi dengan Pollux Properties Group ini rencannya akan merangkum 11 gedung yang terdiri atas 8 menara apartemen sebanyak 6500 unit, 1 kondominium hotel (kondotel), 1 rumah sakit internasional, mal, pertokoan serta 1 perkantoran dengan rencana ketinggian 100 lantai.
Yang menarik, meski telah berkecimpung di bisnis properti, Ilham Akbar habibie justru mengaku jika sebenarnya tidak punya rencana untuk terjun ke bisnis properti. Karena itu bisnis properti sebatas proyek di Batam saja. “Sejujurnya kita tidak punya rencana untuk terjun ke bisnis properti dan memang fokus kita bukan ke bisnis tersebut. Karena itu kalau ditanya apa rencana ke depannya di bisnis properti, jawabannya hanya itu. Bisnis properti sebatas proyek di Batam saja,” ujar Ilham.
Bisnis keluarga besar Habibie lebih dikenal melalui bendera Ilthabi Rekatama, apakah tidak ada rencana untuk melakukan ekspansi bisnis di bidang properti?
Bisnis kami sebetulnya banyak berubah. Dulu kita memang sempat punya bisnis properti tapi semuanya kita jual pada awal 2000-an. Kemudian kita memfokuskan diri ke industri manufacturing, disusul sumber daya alam yaitu pertambangan. Tapi bisnis itu juga lagi proses jual, karena saya tidak terlalu suka sama bisnis tersebut. Kita juga ada bisnis di bidang infrastruktur, pelabuhan, stasiun kereta api, IT termasuk jasa keuangan.
Apakah saat ini ada perusahaan developer lain yang mengajak Anda untuk berpartner?
Belum ada, saya juga tidak begitu tertarik.
Menurut Anda industri properti di Indonesia saat ini seperti apa?
Saya kira, pertama saya bukan player jadi gak begitu tahu secara mendalam. Namun, dengar-dengar dari teman kalau saat ini Jakarta susah. Terlalu banyak produk yang over supply, mungkin juga soal harga yang terlalu mahal. Padahal, dari segi kredit sudah cukup mendukung, jadi bukan soal dukungan finansial tapi lebih ke kondisi pasar sendiri. Yang saya lihat dari segi konsep saat ini proyek-proyek properti sudah banyak yang berkembang dan berubah. Tentunya sesuatu yang positif.
Baca Juga : Ilham Akbar Habibie (Bag I) : Kita Tidak Fokus ke Bisnis Properti
Apa kritik Anda untuk industri properti di Indonesia?
Menurut saya, dalam soal membeli properti kita masih sangat konservatif, mungkin menurut saya terlalu protektif. Untuk asing, misalnya. Kalau sekarang boleh membeli dengan nilai properti di atas Rp750 juta. Kenapa tidak di bawah itu, asal oke. Orang selalu takut kalau masuk ke sini nanti overheated. Kalau kita terlalu konservatif nanti sayang, sebab uang yang beredar di pasar sebagian tidak bisa masuk ke Indonesia ya karena persoalan tadi. Itu tren umum di Indonesia, gak boleh ini, gak boleh itu. Saya sih gak heran kalau kita Cuma 5% pertumbuhan ekonomi, karena kenapa, protektif menurut saya.
Harusnya seperti apa?
Harus pro pasar. Kalau saya lihat dari segi peraturan saja cepat sekali berubah. Jadi orang gak yakin ini bener gak jadi seperti itu. Atau tiba-tiba berubah lagi. Jadi banyak orang kadang-kadang tidak yakin mengenai kepastian dari segi peraturan itu sendiri. Itu umum di semua bidang.
Seandainya Anda mendapat kesempatan untuk mengembangkan properti lagi, proyek apa yang akan dibangun?
Saya melihat peluang bisnis. Apa yang diperlukan di kawasan tersebut itu yang dikembangkan.
Berarti mengenyampingkan idealisme?
Kalau dalam bisnis itu perlu dua-duanya. Idealisme perlu untuk kita mempunyai motivasi. Tapi di lain sisi kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan. Jadi dua-duanya itu penting. Kalau terlalu berorientasi komersial kadang-kadang tidak ada jiwa dalam bisnis itu ya. Tapi kalau kita hanya idealisme saja gak jalan-jalan, gagal.
Terus terang, saat ini kita gak eager untuk mengembangkan properti lagi saat ini. Karena sebagai pengusaha kita punya kapital terbatas dan waktu terbatas. Kalau saya bebani lagi proyek-proyek lain bakal kewalahan. Mungkin, suatu ketika kalau proyek Meisterstadt sudah berjalan, tapi ini kan perlu waktu berapa tahun, masih panjang. Kiki